Senin, 23 September 2013

Demi Hidup Aku Melacur, dan Menjual Keperawanan Anakku

Aku adalah ibu dari dua anakku, umurku saat ini tiga puluh enam tahun. Sejak aku ditinggal suamiku, hidupku tidak menentu, untuk menghidupi kedua anakku, aku bekerja jadi pelayan warung makan. Bayaran menjadi pembantu tidaklah mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi untuk menyekolahkan anakku, jelas aku tidak mampu, maka kedua anakku kutitipkan pada orang tuaku. Oleh orang tuaku anakku lantas disekolahkan di Pondok Pesantren Babakan Lebaksiu, Kabupaten Tegal.

Jadi Pelayan warung
    Tiap hari aku meladeni makan para pelanggan warung. Dari sekian banyak pelanggan, ada pelanggan warung yang selalu memperhatikanku. Tiap makan siang ia selalu minta diladeni aku, padahal pelayan yang lain juga ada. Lama-lama pelanggan itu bersimpati dan berencana ingin menikahiku, walau ia tahu posisiku janda beranak dua.
 
Tawaran itu tidak langsung aku terima, aku khawatir jangan-jangan nanti aku di tinggal lagi. Namun karena desakan dan hampir tiap hari aku ketemu dengan pelanggan itu, lama-lama aku tertarik juga dengan ajakannya untuk menikahiku, pikiranku bagaimana aku mampu menyekolahkan anakku, lagian calon suamiku terkesan penyabar dan ulet dalam bekerja, pasti akan membahagiakan aku beserta kedua anakku.

Dinikahi Seorang Sales    Waktu itu umurku sekitar dua puluh satu tahun. Palanggan warung makan itu akhirnya benar-benar menikahiku. Suami keduaku bekerja menjadi sales elektronik. Meskipun aku sudah nikah dengannya, tapi aku masih  diperbolehkan bekerja sebagai pelayan warung makan, pikirku untuk tambah-tambah pengahasilan. Hari-hari pertama pernikahan keduaku, ku lalui dengan suka cita, suamiku selalu mengingatkanku, agar jangan terlalu dekat dengan pelanggan warung, dan nasehat itu kuingat terus. Namun karena memang diwarung itu aku dituntut oleh majikan untuk ramah kepada setiap pelanggan akupun tetap bekerja apa adanya. Sayangnya, suamiku terkesan membatasi gerakku.

    Berawal dari rasa cemburu, suamiku selalu menanyaiku tentang tamu-tamu warung yang biasa makan, dan aku pun tidak sungkan untuk menjelaskannya, kukatakan bahwa mereka para pelanggan tidak mungkin pacaran denganku, sebab aku sudah punya suami. Memang suamiku tipe pencemburu, apalagi kalau ada tugas luar kota, pulangnya pasti ngomel dan marah-marah, menuduhku selingkuh dengan pelanggan warung, bahkan suamiku sudah berani menampar pipiku. Kebahagianan yang kudamba hanya sebatas angan-angan, justru setelah nikah suamiku menjadi kasar dan suka marah-marah. Boro-boro membantu ekonomi, suamiku ternyata penjudi, bahkan uang perusahaan dipakai, sehingga bayaranku sebagai pelayan warung hanya untuk menomboki hutang-hutangnya. Jika tidak diberi maka aku dipukuli hingga wajahku memar, penderitaanku semakin lengkap.

    Dulu saat aku menjadi janda banyak lelaki yang suka memberiku uang, alas an mereka, ya…sekedar untuk uang jajan anaku, tapi setelah nikah malah banyak pelanggan warung yang menjauhiku. Ditambah watak keras suamiku membuat pelanggan warung enggan makan diwarung tempat aku bekerja. Melihat warung selalu sepi karena ditinggal pelanggan, majikanku jadi bangkrut dan warungnya pun tutup. Meskipun warungnya tutup, aku masih diperbolehkan menunggui, bahkan warung sebagai tempat tinggalku sementara.

Suamiku Selingkuhi Aku    Suamiku mulai jarang pulang, awalnya aku tidak curiga pada perilaku suamiku, suatu hari aku mendapat informasi dari sesama sales, bahwa suamiku sering tidur dengan temanku sesama pekerja warung. Seakan remuk redap dan hancur hatiku, namun kuhilangkan jauh-jauh rasa curiga itu. Akan tetapi, karena seringnya suamiku jarang pulang, lama-lama aku ingin menyelidiki keberadaan suamiku.

    Bagai disambar geledek, hatiku berdegup keras, saat kulihat suamiku bersama Lastri temanku sesama pekerja warung, sudah tinggal seatap dirumah kontrakan. Aku hanya diam dan tak mampu berkata apapun. Dalam duka aku lalu pergi meninggalkan suamiku yang sedang berselingkuh dengan temanku.

Bekerja Dilokalisasi Hingga Jadi Simpanan Camat    Sejak peristiwa itu hidupku jadi tidak menentu, aku benci pada lelaki. Beruntung, aku belum sempat punya anak dengan suami keduaku. Demi mempertahankan hidup dan tuntutan perut, akhirnya aku bekerja diwarung lokalisasi sekedar untuk menghibur diri. Awalnya aku hanya menemani tamu-tamu untuk minum bir, dari sekedar ngobrol menemani tamu, aku sering diberi uang oleh tamu-tamu itu, dan lama-lama aku tertarik dengan pekerjaan baruku.

    Kemudian majikanku menawari aku untuk tetap tinggal di mess, waktu itu aku sempat jadi primadona di lokalisasi, bahkan aku menjadi istri simpanan salah seorang camat di Kabupaten Tegal. Aku tidak boleh menerima tamu, aku di kos-kan dikamar khusus, segala kebutuhanku dicukupi, termasuk biaya anak-anakku yang sedang mondok di pesantren. Kehidupan ekonomi mulai membaik, aku bagai burung piaraan yang tidak boleh terbang bebas. Ya…namanya piaraan, tubuh molekku selalu kurawat, dari senam kebugaran sampai lulur, bahkan perawatan wajah. Aku selalu rutin menjaganya, itu semua atas saran pak camat yang betul-betul kesengsem dan tergila-gila akan kecantikan wajahku. Sehingga hampir setiap siang hari pak camat selalu menemaniku tidur, bahkan kalau malam hari sesekali pak camat bermalam bersamaku. Tak terasa hubunganku dengan pak camat sudah eman tahun, selama itu juga istri pak camat tidak mengetahuinya, kalau suaminya punya perempuan simpanan.

Aku Selingkuh Dengan Anak Camat    Suatu malam datanglah seorang pemuda ganteng bersama oknum aparat dari Pemalang, aku disuruh menemani minum bir, lalu pemuda itu tertarik denganku. Akhirnya pertemuan pertama itu berlanjut diranjang. Hubunganku dengan pemuda ganteng itu terus berlanjut tanpa sepengetahuan pak camat, sebab pak camat mengunjungiku hanya setiap siang saja, itupun saat jam-jam kantor, atau pas makan siang. Sedang malam hari pak camat jarang sekali menemuiku. Maka malam hari kumanfaatkan untuk mencari mangsa baru. Kebetulan aku jatuh hati pada pemuda ganteng, pemuda itu pun mencintaiku. Jadi jika malam aku menjadi kekasih pemuda itu, sedang siang harinya aku meladeni pak camat.

    Hingga suatu hari ada teman sesama pramunikmat mengabariku, bahwa pemuda ganteng yang jadi langgananku adalah anaknya pak camat. Mendengar kabar demikian aku pura-pura tidak tahu, bahkan tiap kali pemuda itu meniduriku, aku tidak pernah cerita, kalau bapaknya jika siang hari tidur bersamaku juga. Dalam benakku yang ada adalah uang, uang dan uang, sehingga aku tidak peduli siapapun, yang penting jika ingin menikmati tubuh mulusku harus bayar.

    Entah dari siapa yang membocorkan rahasia ini ke pak camat, rupa-rupanya pak camat mengerti tentang hubunganku dengan anaknya, hingga pak camat jarang mengunjungiku, mungkin malu atau marah padaku, karena ketahuan bersama anaknya, ataukah sebab lain, aku juga tidak mengerti. Seolah-olah putus, jarang memberiku uang lagi dan anaknya juga mulai jarang mengunjungiku.

Aku Dilirik Aparat    Putus dengan pak camat dan anaknya, aku mulai dilirik oleh kepala aparat yang bertugas disalah satu satuan di Slawi, tapi tidak ditempatkan khusus seperti pak camat. Aku dibiarkan mencari langganan baru, termasuk kepada para oknum  petugas yang sering mengumbar nafsu birahinya. Biasanya lelaki hidung belang yang berpangkat kroco suka minta bayaran separo, tidak seperti pengedeanya yang kalau habis menikmati tubuhku, ia berani membayar mahal. Jujur saja setelah aku dipegang kapolsek itu, setiap ada razia aku selalu dapat bocoran, sehingga aku tidak pernah digaruk. Buruknya sang kepala aparat itu selalu Cipto alias "Nyicipi roto" . hampir tiap ada pendatang baru atau anyaran selalu dinikmati lebih dulu, sehingga teman-teman di komplek menyebutnya pak Cipto (suka nyicip roto).

Anaku Berhenti Sekolah
    Tak terasa seiring dengan jalannya waktu, usiaku bertambah, pamorku mulai pudar, banyak pendatang baru yang cantik-cantik, maka aku mulai kehilangan pelanggan. Sementara anakku yang dipondok baru kelas dua MTs (Madrasah Tsanawiyah), karena postur tubuhnya besar, terkesan sudah sangat dewasa aku khawatir anaku putus sekolah, sehingga kalau liburan sekolah, anakku selalu didatangi teman-temannya yang kebanyakan cowok. Aku khawatir jangan-jangan anaku sudah mengerti pacaran. Dugaanku benar, anaku berhenti tidak mau sekolah….
bersambung ; by supri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih .by supri